BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kata Shalat
secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara Terminologis, adalah
seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat
tertentu., dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.
Pengertian
Shalat ini mencakup segala bentuk salat yang diawali dengan takbirt al-ihram dan diakhi dengan salam.
Digunakan kata shalat untuk ibadah ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian Etimologisnya. Sebab, di
dalam shalat terkandung do’a-do’a berupa
permohonan, minta ampun, dan sebagainya.
Adapun yang
menjadi landasan kefarduan shalat, diantaranya surat Al-baqarah ayat 45 dan
ayat 100: “ .. dirikanlah Shalat dan
tunaikanlah zakat..’’ ; “ dan memohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat..”
Kewajiban
Shalat dilandasi juga oleh Hadits Nabi yang secara Eksplisit, menyatakan bahwa
shalat termasuk rukun Islam.
بني السلا م على خمس : شها دة أن لا أله أ لا الله و أن محمدا رسو ل
الله و أ قا م ا لصلا ة و أيتا ء ا لزكاة وا لحج و صو م رمضا ن
“ Islam dibangun diatas lima dasar ( rukun ) ;
syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah,
mendirikan Shalat, menunaikan zakat, haji ke Bait Allah, dan puasa Ramadhan. ’’
Dalam Islam,
Shalat menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Selain termasuk rukun islam, yang
berarti tiang Agama, Shalat juga termasuk Ibadah yang pertama diwajibkan Allah
kepada Nabi Muhammad ketika Mi’raj.
Disamping itu,
Shalat memiliki tujuan yang tidak terhingga. Tujuan Hakiki dari Shalat, sebagaimana
dikatakan Al-jaziri, adalah tanda hati dalam rangka mengagungkan Allah sebagai
pencipta. Disamping itu Shalat juga merupakan bukti takwa Manusia kepada
Khaliknya. Dalam salah satu ayat-Nya menyatakan bahwa Shalat bertujuan
menjauhkan orang dari keji dan munkar. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001:
23-24)
Banyak hadits
yang menyatakan tentang Hakikat shalat, misalnya: ”Sesungguhnya shalat itu
adalah tiang Agama. Barangsiapa menegakkannya, berarti Dia menegakkan Agama, dan
barangsiapa meninggalkannya, berarti dia merobohkannya”. Akan
tetapi,hakikat shalat bukan hanya
tindakan dan ucapan tertentu, tetapi juga harus disertai dengan kesadaran hati.
(Shalat dalam Persfektif Sufi. 2002: 77)
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat di ambil
rumusan masalah, yaitu sekitar Pembahasan
mengenai Macam-macam dari Shalat.
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya Makalah ini adalah selain
untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata Kuliah Bahasa Indonesia,
juga untuk memaparkan Materi mengenai Macam-macam dari Shalat.
BAB
II
PEMBAHASAN
Macam-Macam Shalat
1.
Shalat
Fardu (Shalat Lima Waktu)
Shalat yang yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan
berakal adalah lima kali dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib
shalat itu adalah pada malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ulama tentang jumlah
bilangan shalat yang difardukan. Jumhur Ulama, termasuk Malik dan Syafi’i,
berpendapat Bahwa jumlah shalat yang wajib hanya lima, sebagai mana yang
disebutkan dalam hadist tentang mi’raj, yaitu : subuh, duhur, ashar, maghrib,
dan isya. Disamping hadist mi’raj, terdapat hadist lain yang meriwayatkan
seorang arabiy datang kepada Nabi dan
bertanya tentang islam. Beliau bersabda : “
lima shalat sehar semalam ”. ketika orang itu bertanya lagi : “apakah ada yang wajib bagiku selain itu ?”
Nabi menjawab : ” tidak ada, kecuali
engkau ber-tathawu.”
Namun,
abu Hanifah dan para pengikutnya menganggap shalat witir termasuk shalat wajib,
sehingga bilangan shalat fardu ada enam. Ia melandasi pendapatnya dari hadist
Nabi, diantaranya berasal dari syu’aib, yang menyatakan bahwa nabi bersabda :
“Allah telah menambahkan sebuah shalat bagi kamu yaitu witir. Oleh
kareana itu , hendaklah kamu memeliharanya.”
Disamping itu, ada hadist dari Buraidah Al-Islamiy yang mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda :
“shalat witir itu hak (benar) maka barang
siapa tidak melakukannya, dia bukan dari (umat) kami.”
a.
Waktu-waktu
Shalat
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 103: “sesungguhnya
shalat itu merupakan kewajiban yang di tentukan waktunya bagi orang-orang
beriman.”
Ketetapan hukum islam yang diperoleh dari nash al qur’an dan sunnah
yag qath’i dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan nerlaku berlaku
untuk seluruh umat mansia sepanjang masa. Namm, sesuai dengan asas-asas hukum
islam yang fleksibel. Praktis, dan tidak menyulitkan dalam batas jangkauan
kemampan manusia sejalan dengan kemaslahatan umm dan kemajuan zaman, dan sesuai
pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat berdasarkan al qur’an
surat al-isra ayaat 78 dan al-baqorah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh
daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang noramal, yang perbedaan
waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa
(ekuator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45o dari
garis lintang utara dan selatan). Lebih dari tiga perlima bumi yang dihuni
manusia termasuk di daerah yang normal, ialah selruh Afrika, Timur tengah,
India, Pakistan, Cina, Asean, Australia, dan seluruh Amerika (Kecuali Canada
dan sedikit daerah selatan dari Argentina- Chili), dan Oceania. Maka waktu
Shalat bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah normal tersebut adalah waktu setempat ( local time) berdasarkan
waktu terbit dan tenggelam matahari di daerah-daerah yang bersangkutan yang
perbedaan waktunya sekitar satu menit setiap jarak 15 mil.
Adapun waktu shalat bagi masyarakat islam yang tinggal diluar daerah
khatulistiwa dan tropis yakni di daerah-daerah diluar garis paralel 45o
dari garis litang utara dan selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang
dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar kutub yang 6 bulan dalam
keadaan siang terus menerus dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah
mengikuti waktu shalat di daerah normal yang terdekat yakni pada garis paralel
45o dari garis lintang utara dan selatan.
Karena itu bagi masyarakat islam yang
tinggal misalnya di negeri Belanda, Inggris, dan negara-negara Skandivania
mengikuti waktu shalatnya dengan waktu bordeaux (Prancis bagian selatan), yang
terletak di garis paralel 45o dari garis lintang utara. Demikian
pula bagi masyarakat Islam yang tinggal di Amerika Utara mengikuti waktu shalat
dengan waktu Halifax atau Portland (Canada).
Adapun dalil syar’i
yang memberikan dispensasi (hukum rukhsah,
istilah Fiqh) bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal
untuk mengikuti waktu shalat dari daerah normal yang terdekat, antara lain menurut
surat Al-baqarah ayat 286:
لا يكلف الله نفسا ألا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Masail
Fiqhiyyah. 1993: 274-275)
Adapun waktu bagi masing-masing shalat
yang 5 waktu tersebut (Fiqih Islam. 2001: 61-62) adalah sebagai beikut:
1)
Shalat
Dzuhur. Awal waktunya adalah setelah tergelincir matahari dari pertengaahan
langit. Akhir waktunya apabila bayang-bayang sesuatu telah sama dengan
panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari menonggak (tepat diatas
ubun-ubun).
2)
Shalat
Ashar. Waktunya dimulai dari habisnya waktu dzuhur; bayang-bayang sesuatu lebih
dari pada panjangnya selain dari bayang-bayang ketika matahari sedang menonggak,
sampai terbenam matahari.
3)
Shalat
Maghrib. Waktunya dari terbenam matahari sampai terbenam syafaq (mega) merah.
4)
Shalat
Isya. Waktinya mulai dari terbenamnya syafaq merah (sehabis waktu maghrib)
sampai terbit fajar kedua.
5)
Shalat
Shubuh. Waktunya mulai dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
b.
Syarat
wajib shalat 5 waktu
1)
Islam
2)
Suci
dari haid (Kotoran dan nifas)
3)
Berakal
4)
Baligh
5)
Telah
sampai dakwah (perintah rasul kepadanya)
6)
Melihat
atau Mendengar
7)
Terjaga
(tidak tidur dan tidak lupa)
c.
Syarat
Sah Shalat
1)
Suci dari hadats besar dan hadats kecil
2)
Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis
3)
Menutup aurat
4)
Mengetahui masuknya waktu shalat
5)
Menghadap ke kiblat (ka’bah)
d.
Rukun
Shalat
1)
Niat
2)
Berdiri
bagi yang mamapu
3)
Takbiratul
ihram
4)
Membaca
surat Fatihah
5)
Ruku
serta tuma’ninah
6)
I’tidal
serta tuma’ninah
7)
Sujud
dua kali dengan tuma’ninah
8)
Duduk
diantara dua sujud dengan tuma’ninah
9)
Duduk
akhir
10)
Membaca
Tasyahd akhir
11)
Membaca
Shalawat atas Nabi Muhammad
12)
Memberi
salam yang pertama (kanan)
13)
Menertibkan
rukun
e.
Hal-hal
yang membatalkan Shalat
1)
Meninggalkan
salah satu rukun
2)
Meninggalkan
salah satu syarat
3)
Sengaja
berbicara
4)
Banyak
bergerak
5)
Makan
dan minum
f.
Niat
dalam shalat
Shalat (Fiqih Niat. 2006: 260)
merupakan ibadah yang tidak bisa di nalar dan para Ulama telah menyepakati atas
kewajiban ibadah ini.
Tidak sedikit Ulama yang mengatakan secara ijma’ tentang kewajiban
niat dalam shalat. Mereka tidak membedakan antara shalat fardhu dengan shalat
lainnya., bahkan niat di wajibkan dalam sujud tilawah dan sujud syukur karena kedua
sujud tersebut merupakan suatu ibadah.
Ada yang berpendapat bahwa shalat berbeda bentuknya dengan amalan
biasa dan ibadah lain, lalu kenapa juga harus memakai niat?
Jawaban dari pertanyaan ini adalah niat dalam shalat bukanlah untuk
membedakan shalat dengan kebiasaan atau ibadah yang lain, namun untuk
membedakan jenis shalat antara shalat fardhu dan shalat tidak fardhu.
Imam syafi’i mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat, ada shalat
fardhu dan ada shalat tidak fardhu, Allah berfirman,
“ dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji.”(al-Israa’:
79)
Niat berfungsi untuk membedakan jenis shalat dan tingkatan shalat
tersebut, sehingga shalat dngan memakai niatlah yang di terima olah Allah.
2.
Shalat
Sunnah
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah
yang diatur tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang,
bahwa hikmah adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar
menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti
kurang adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi
dalam memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan
siap menghadapinya.
Sengaja di syariatkan shalat sunnat juga ialah untuk menambal kekurangan
yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, juga karena shalat itu
mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain.
Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi SAW bersabda, yang
artinya:
“sesungguhnya
yang pertama-tama akan di hisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat
atu ialah shalat. Tuhan berfirman kepada Malaikat, sedangkan Ia adalah Maha
Lebih Mengetahui: “periksalah shalat hamba-Ku, cukupkah atau rangkah?” maka
jiakalau terdapat cukup, dicatatlah cukup. Tetapi jikalau terdapat kekerangan,
tuhan berfirman pula; “periksalah lagi, apakah hambah-Ku itu mempunyai amalan
shalat sunnah ? Jikalau terdapat ada shalat sunahnya, lalu tuhan berfirman
lagi: ‘ cukupkanlah kekurangan shalat fard hambahku itu dengan shalat
sunnahnya” selanjutnya diperhitungkanlah amal pebuatan itu menurut cara
demikian”.
Macam-macam
Shalat Sunnah:
1)
Shalat
Jama’ah
Apabila dua orang
shalat bersama-sama dan salah seorang diantara mereka mengikuti yang lain,
keduanya dinamakan shalat berjama’ah. Orang yang diikuti (di hadapan) dinamakan
imam, sedangkan yang mengikuti dibelakang dinamakan ma’mum. (Fiqih Islam. 2001:
106)
Shalat jama’ah (Fiqih Isalam
Praktis. 1995: 198) juga bisa tercapai dengan shalat seorang laki-laki di rumah
bersama istrinya dan yang lainnya. Akan tetapi, di dalam masjid itu lebih utama
dengan lebih banyak orang. Dan seandainya di dekat masjid itu jama’ahnya
sedikit dan yang jauh jama’ahnya banyak maka yang jauh itu lebih utama kecuali
dalam dua hal atau keadaan.
Pertama : bila yang
dekat sedikit jama’ahnya.
Kedua : bila Imam yang jauh itu orang yang berbuat bid’ah dan
orang fasik.
Rasulullah senantiasa
melaksanakan shalat fardhu berjama’ah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat dan
beberapa hadits berikut:
“apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.’’ (QS. An-nisa: 102).
Adapun hadits Nabi yang menjelaskan hal ini diantaranya:
“sesungguhnya saya telah bermaksud
untuk menyuruh seseorang memimpin dan melaksanakan shalat dengan orang banyak,
kemudian saya pergi dan dengan beberapa orang yang membawa kayu bakar, ke
tempat orang yang tidak menghadiri shalat itu dan membakar rumah-rumah meraka
dengan api.’’ ( HR.Bukhori
dan Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan: “
shalat berjama’ah lebih utama ketimbang shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat’’ (HR. Bukhari dan Muslim)
dalam (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 46)
2)
Shalat
‘Idain
Shalat ‘idain (Shalat dua
hari Raya) termasuk sunah muakadah yang disyari’atkan berdasarkan al qur’an,
as-sunnah, dan ijma’. Dalil al-Qur’an dapat dijumpai dalam Q.S Al Kautsar ayat
2 yang artinya:” maka dirikanlah shalat, karena tuhanmu; dan berkorbanlah.”
shalat dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai perintah shalat
idul adha namun, perintah itu tidak menunjukan wajib, sebab ada hadist riwayat
bukhori dan muslim bahwa seseorang (‘arabiy) setelah mendapatkan penjelasan
tentang kewajiban shalat fardu, bertanya kepada Nabi : “apakah masih ada
shalat yang wajib atasku selain itu ?”
beliau menjawab : “tidak, kecuali bila engkau hendak melakukan tatthawu.”
(Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48)
Hadits Nabi Saw.:
عن عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت :قا ل رسو ل الله صلى الله عليه و سلم
أ لفطر يوم يفطر ا لنا س و الاضحى يوم
يضحى ا لناس ( روه ا لتر مذي )
Artinya: Dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. Bersabda :
Fithri itu ialah hari orang-orang berbuka puasa dan Adha itu ialah hari
orang-orang berqurban. (H.R.At Turmudziy)
Dalam Hadits tersebut
terkandung dalil bahwa yang perlu di
perhatikan dalam penetapan hari raya itu ialah kesepakatan orang banyak dan
orang yang hanya sendirian mengetahui Hari raya dengan melihat Bulan, harus
atasnya di cocokkan dengan oranglain dan dia harus mengikuti keputusan orang
banyak dalam penentuan shalat Hari raya, berbuka dan berkurban. (Terjemahan
Subulus salam. 1991: 259)
Pelaksanaan
shalat ‘Idain (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 48) ini, menrut kesepakan
ulama, dituntut secara berjama’ah. Abu Hanifah dan ulama lainnya mengatakan
tuntutan melakukan shalat ‘id hanya ditunjukan kepada orang yang bertempat
tinggal di kota. Namun, menurut Syafi’i, tuntutan itu berlaku secara luas,
meliputi orang musafir, perempuan dan budak bahkan orang yang sedirian. Waktu
shalat ‘id itu sejak matahari sampai kepada waktu zawal, dan sebaiknya dilaksanakan
setelah matahari naik setinggi tombak.
3)
Shalat
Istisqa
Shalat
istisqa (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 49) dilakukan dalam rangka
memohon turunnya hujan. Ulama sepakat, bila kebutuhan akan air menjadi sulit
karena lama tidak turun hujan, disunahkan melakukan istisqa, pergi keluar kota,
berdo’a, memohon agar Allah menurunkan hujan. Mayoritas mereka memasukan shalat
sebagai istisqa dari upacara istisqa itu, namun Abu Hanifah tidak memandang
demikian.
Hukum shalat
Istisqa adalah sunnah muakkad, yaitu apabila shalat itu dilaksanakan
ketika membutuhkan air, dengan tata cara- tata caranya. ( Fiqih empat Madzhab. 1994:
318)
Dalam kitab “al
hudan nabawiy” telah dihitung macam-macam cara nabi saw, melakukan minta hujan itu.
Pertama : keluarnya Nabi saw. menuju tempat shalatnya dan khutbahnya
sambil memohon.
Kedua : beliau meminta hujan itu pada hari jum’at di atas mimbar sewaktu
tengah khutbahnya.
Ketiga : beliau berdo’a minta hujan di atas mimbar di madinah, dengan
do’a minta hujan saja bukan pada hari jum’at tanpa melakukan shalat meminta
hujan.
Keempat : bahwa beliau meminta hujan sewaktu beliau duduk dalam mesjid,
beliau mengangkat tangannya sambil berdo’a kepada Allah SWT.
Kelima : bahwa nabi saw. Pernah berdo’a minta hujan itu dengan duduk pada
batu licin dekat zaura (nama tempat yang menjadi pasar pada masa utsman) yaitu
suatu tempat di luar pintu mesjid
Keenam : beliau pernah berdo’a minta hujan pada suatu peperangan, karena
sumber mata air sudah dahulu dikuasai oleh kafir musyrik (musuhnya). Lalu mulai
saat itu juga pada daerah yang dikuasai Nabi saw. diturunkan hujan. (Terjemahan
Subulus salam. 1991: 316)
4)
Shalat
Tahiyat masjid
Orang yang masuk masjid disunatkan melakukan salat
dua raka’at, sebelum duduk, sebagai penghormatan (tahiyat) masjid, sesuai
hadits Nabi:” jika seseorang diantara kamu datang ke masjid, maka hendaklah ia
melakukan shalat dua raka’at.’’ Tatapi, jika ia masuk ketika shalat jama’ah
akan dimulai, ia tidak di tuntut lagi melakukannya. Lagipula, penghormatan
terhadap masjid itu telah tercapai dengan melekukan shalat wajib tersebut.
Jika seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at ketika Imam
sedang menyampaikan khotbah, hendaklah ia melakukan shalat tahiyatul masjid
dengan ringkas. Dalam suatu riwayat dikatakan:” apabila seseorang diantara kamu
datang ketika Imam sedang berkhotbah, maka hendaklah ia shalat dua raka’at, dan
hendaklah ia melakukannya dengan ringkas.” (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001:
50)
Sabda Rasulullah Saw:
عن أ بى قتادة قال رسول الله صلى ا لله عليه و سلم أذا دخل أحدكم ا لمسجد فلا يجلس حتى يصلى
ركعين . رواه البخارى و مسلم
Dari Abu Qatadah, “Rasulullah Saw. Berkata, ‘Apabila salah seorang
diantara kamu masuk ke mesjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua rakaat
dahulu’.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqih Islam. 2001: 146)
5)
Shalat Dhuha
Shalat
Dhuha ialah shalat sunnat dua rakaat atau lebih. Sebanyak-banyaknya dua belas
rakaat. Shalat ini dikerjakan ketika waktu dhuha, yaitu waktu matahari naik
setinggi tombak yaitu kira-kira pukul 8 atau pukul 9 sampai tergelincir
matahari.
Dari Abu Hurairah,
Ia berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw.) telah berpesan kepadaku tiga macam
pesan: (1) Puasa tiga hari setiap bulan, (2) Shalat Dhuha dua rakaat, dan (3)
Shalat Witir sebelum tidur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) dalam (Fiqh Islam. 2001:
147)
Shalat
Dhuha hukumnya Sunnat menurut pendapat tiga Imam Madzhab. Malikiyyah menyangkal
pendapat itu. Mereka berpendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya mandub
muakkad, bukan sunnat. Adapun waktunya adalah sejak matahari menyingsing
sebatas ketinggian satu tombak hingga tergelincir (zawal). Yang lebih utama
hendaknya ia memulai shalat itu setelah seperempat siang. Batas minimal shalat dhuha adalah dua rakaat.
Sedangkan maksimalnya 8 rakaat. Apabila Ia menambah jummlah rakaatnya lebih
dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalat dhuha, maka
selebihnya dari 8 rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia
lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka menurut Syafi’iyah dan Hanabillah ia
sah sebagai shalat nafilah mutlak.(Fiqih empat Madzhab. 1994: 269)
6)
Shalat
Tahajud
Shalat sunnah
tahajud utama dilakukan pada waktu malam setelah tidur terlebih dahulu.
Keutamaan ini terkait dengan beratnya melakukan shalat setelah tidur dan juga
terkait dengan pelaksanaannya pada saat manusia sedang tidur dan lalai
mengingat Allah. Waktu yang terbaik baginya pada akhir malam sesuai dengan ayat
17-18 dari Surat Al-dzariyyat.” Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.
Dan di akhir malam-malam mereka memohon (kepada Allah).”
Bila malam dibagi
tiga, maka sepertiga bagian setelah tengah malam merupakan waktu terbaik.
Sebagaimana diriwayatlkan Umar bahwa shalat yang paling disukai Allah adalah
shalat Nabi Daud. Ia tidur sepuluh malam, kemudin bangkit berdiri (shalat)
sepertiganya, dan tidur lagi seperenamnya. (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001:
49)
Sabda Rasulluh Saw.:
عن أ بي هريرة لما سئل ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم أ ى ا لصلاة افضل
بعد ا لمكتوبة ؟ قا ل ا لصلاة فى جوف ا لليل. روه مسلم و غيره
Dari Abu Hurairah, tatkala Nabi Saw. Ditanya orang,’ Apakah shalat
yang lebih utama selain dari shalat fardhu yang lima?’ Jawab Beliau,” Shalat
pada waktu tengah malam.” (Riwayat Muslim dan lainnya) dalam ( Fiqih islam. 2001:
148)
7)
Shalat
Jum’at
Shalat Jum’at (Fiqih
Islam. 2001: 123) ialah shalat dua raka’at sesudah khatbah pada waktu dzuhur
pada hari jum’at. Hukum shalat jum’at itu adlah fardhu a’in, artinya wajib atas
setiap laki-laki dewasa yang beragama Islam, merdeka, dan tetap di dalam
Negeri. Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya, dan orang yang sedang dalam
perjalanan tidak wajib shalat jum’at.
Firman Allah Saw.:
يا أ يها ا لذ ين أ منوا أذا نودى للصلوة من يو م الجمعة فا سعو األى ذ كر ا لله و ذرواالبيع.
الجمعه : 9
“ Hai
orang-orang yang beriman, apabila di seru untuk menunaikan shalat pada hari
jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.” (Al-jumu’ah: 9)
Yang dimaksud ”jual
beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan shalat.
Ada sebagian Ulama
yang berpendapat bahwa shalat jum’at merupakan
fardu kifayah. Bahkan, Imam Malik menganggapnya sunat. Sebab perbedaan pendapat
ini karena shalat jum’at hampir sama dengan shalat Id (Meteri pendidikan Agama
islam. 2001: 41)
Pendapat Ibnu Hanbal (Materi Pendidikan Agama Islam. 2001: 42) Orang
yang wajib shalat jum’at haram melakukan Safar, meninggalkan wilayah setelah
tergelincir matahari pada hari jum’at, kecuali ia yakin dapat melaksanakannya di
perjalanan. Hukum ini berlaku juga bagi perjalanan sebelum tergelincir
matahari, sebab kewajiban shalat tersebut terkait dengan hari jum’at.
Abu Abdullah bin Hamid (Rahasia di Balik Shalat. 2003: 30)
mengatakan: Barang siapa mengingkari wajibnya jum’at berarti telah kufur. Jika
ia mengerjakannya empat rakaat namun meyakini wajibnya, yaitu dengan mengatakan
bahwa shalat jum’at itu adalah shalat dzuhur yang pendek, maka ia tidak kufur,
jika tidak demikian maka ia kufur.
8)
Shalat
Rawatib
Shalat Rawatib
ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat fardhu. Seluruh
shalat sunnah rawatib ini ada 22 raka’at, yaitu:
a)
2
raka’at sebelum shalat shubuh (sebelum shalat shubuh tidak ada sunnah ba’diyah)
b)
2
raka’at sebelum shalat zhuhur, 2 atau 4 ra’kaat sesudah shalat dzuhur)
c)
2
raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat ashar (sesudah shalat ashar tidak ada
sunnah ba’diyah)
d)
2
raka’at sesudah shalat maghrib
e)
2
raka’at sebelum shalat isya
f)
2
raka’at sesudah shalat isya
Di antara
shalat-shalat tersebut ada yang di namakan “sunnah muakkad” artinya sunnah yang
sangat kuat, yaitu:
a)
2
raka’at sebelum shalat dzuhur, dengan niatnya:
أ صلى سنة ا لظهر ركعتين قبلية لله تعلى . ا لله أ كبر
Artinya:
“ aku niat shalat sunnah sebelum dzuhur dua raka’at karena Allah Ta’ala. Allahu akbar.”
b)
2
raka’at sesudah dzuhur
c)
2
raka’at sebelum ashar
d)
2
raka’at sesudah maghrib
e)
2
raka’at sebelum isya
f)
2
raka’at sesudah isya
Shalat-shalat
tersebut, yang dikerjakan sebelum shalat fardhu dinamakan “Qabliyyah”, dan yang
dikerjakan sesudah shalat fardhu dinamakan “Ba’diyyah”.
Ketentuan-ketetuan shalat Rawatib:
a)
Niatnya
menurut macam shalatnya
b)
Tidak
dengan adzan dan iqamah
c)
Dikerjakan
tidak dengan berjama’ah
d)
Bacaannya
tidak dinyaringkan
e)
Jika
lebih dari dua raka’at, tiap-tiap dua raka’at satu salam
f)
Diutamakan
sebaiknya tempat mengerjakan pindah bergeser sedikit dari tempat shalat fardhu
yang baru dikerjakan. (Risalah Tuntunan shalat lengkap. 2011: 80-83)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata Shalat secara Etimologis, berarti do’a. Adapun shalat secara
Terminologis, adalah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan
beberapa syarat tertentu, dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat yang
yang diwajibkan bagi tiap-tiap orang yang dewasa dan berakal adalah lima kali
dalam sehari semalam. Mula-mula turunnya perintah wajib shalat itu adalah pada
malam Isra, setahun sebelum tahun hijriyah.
Selain shalat fardhu, ada juga yang di namakan dengan shalat sunnah
yang diatur tersendiri, baik waktu maupun pelaksanaannya. Dikatakan orang,
bahwa hikmah adanya ajaran shalat sunnah sehabis shalat fardhu itu adalah agar
menjadi penambah shalat fardhu yang mungkin kurang tanpa di sengaja seperti kurang
adabnya dan shalat sunnah sebelum shalat fardhu agar lebih konsentrasi dalam
memasuki shalat fardhu itu dengan hati yang lapang mengerjakannya dan siap
menghadapinya.
Macam-macam dari shalat sunnah itu sendiri adalah diantaranya
shalat Jama’ah, shalat ’Idain, shalat Istisqa, shalat Tahiyatul masjid, shalat
Dhuha, shalat Tahajud, shalat Jum’at, shalat Rawatib.
B.
Saran
Saya hanyalah
seorang manusia biasa yang tidak pernah sirna dari kekhilafan, karena kesempurnaan
hanyalah milik Allah Swt. Karena dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka selayaknya saya mengharapkan kritik ataupun saran yang membangun kepada
para Pembaca agar saya bisa memperbaiki dalam pembuatan makalah selanjutnya
supaya bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1994. Fiqih Empat Madzhab.
Jakarta: Darul Ulum Press.
Asyqar, U. Sulaiman. 2006. Fiqih Niat. Jakarta:
Gema Insani.
Asyur, A. Isa. 1995. Fiqih Islam Praktis Bab:
Ibadah. Solo: Pustaka Mantiq.
Gymnastiar, Abdullah, dkk. 2002. Salat dalam
Persfektif Sufi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Jauziyah I. Qayyim. 2003. Rahasia Dibalik Shalat.
Jakarta: Pustaka Azam.
Muhammad, A. Bakar. 1991. Terjemahan Subulussalam
II. Surabaya: Al-Ikhlas.
Rifa’i, Muhammad.
2001. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Sabiq, Sayyid. 1993. Fiqih Sunnah jilid 2. Bandung: Al-Ma’arif.
Tafsir, Ahmad. 2001. Materi Pendidikan Agama Islam.
Bandung: PT. Remaja. Rosdakarya.
Zuhdi, M. Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyyah.
Jakarta: CV. Haji Masagung.
Makalah ini diambil dari Blog :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar